Pengumuman

Sabtu, 12 Oktober 2013

Membangun Akidah Anak Pada Moment Idul Adha

ARE YOU READY FOR QURBAN???? CHAYO SISWA RA AL – SYAMSIYAH JOSO
Perkembangan diri seorang anak dapat dilihat dari perilaku ahlak yang tercermin dari dirinya dan hal itu sangat erat kaitannya dengan pola pendidikan yang diberikan oleh orangtua. Sebagai orangtua tentu kita haruslah peka terhadap perkembangan anak. Walaupun kita terkadang sulit untuk mengawasinya secara langsung bukan berarti kita tidak memperdulikan sikap dan perkembangan si anak. Kehidupan modern seperti ini banyak mempengaruhi pola pikir si anak dan juga merupakan faktor utama penghambat pola pikirnya. Karena semua faktor baik dari lingkungan sendiri atau luar sudah banyak mencemari. Oleh karena itu,sebagai orangtua kita harus memberikan pendidikan yang terbaik kepada sang buah hati agar kelak dewasa nanti sang anak tidak mudah terjerumus dalam pergaulan di luar syariat Islam. Kebanyakan dari para orangtua menginginkan anak-anaknya menjadi seorang anak yang tumbuh dewasa dengan ahlak yang baik. Di sini peran orang tua sangat penting dalam membangun karakter serta pola pikir anak. Dalam hal ini Allah swt telah banyak memberikan gambaran tentang bagaimana cara mendidik anak, agar anak tersebut menjadi generasi yang mampu menghadapi masa depan yang lebih baik, dan Allah swt telah mngabadikan sebagian kisah teladan itu di dalam Al-Qur’an untuk dapat di jadikan pelajaran bagi para hamba-hamba-Nya. Diantaranya adalah kisah Nabi Ibrahim as dan putranya Nabi Ismail as. Dalam kisah itu kita ketahui Nabi Ibrahim as di perintahkan oleh Allah swt untuk mnyembelih anaknya, dengan ketaatannya itu beliau bersegera untuk mneyembelih Nabi Ismail as. Namun, Allah swt menggantinya dengan seekor domba. Dari sinilah kisah perintah berkurban dianjurkan kepada umat Muslim untuk mengukur sampai di mana keataatan seorang hamba. Berkurban merupakan perintah langsung dari Allah swt, dimana Allah menguji kesabaran, keikhlasan dan ketaatan hamba-hamba-Nya agar mereka senantiasa menjadi hamba yang bersyukur. Dari kisah tersebut banyak hikmah yang dapat kita ambil dan dijadikan pedoman dalam membina sebuah keluarga yang taat serta ikhlas dalam menunaikan segala bentuk perintah agama. Penanaman Akidah Anak Pada Usia Dini Dalam sebuah hadits riwayat al-Hakim dikatakan, “Jadikanlah kata-kata pertama kali yang diucapkan seorang anak adalah kalimat Laa ilaaha illallaah. Dan bacakan padanya ketika menjelang maut kalimat Laa ilaaha illallaah”. Tujuan dari memperdengarkan dan mengajarkan kalimat tauhid ini agar pertama kali yang didengar anak yang baru lahir adalah kalimat tauhid. Jadikan suara yang didengar pertama oleh mereka adalah pengetahuan tentang Allah dan keesaan-Nya. Mengajarkan kalimat tauhid sejak dini juga dilakukan dengan memperdengarkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Sebagaimana Rasulullah saw melakukan hal serupa terhadap cucunya. Mengenalkan Dan Menanamkan Cinta Kepada Allah Mengenalkan Allah pada anak usia di bawah 3 tahun juga dapat dilakukan dengan terus menerus melafadzkan kalimat thoyyibah. Seperti mengucapkan Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akabar disertai dengan aktivitas yang dilakukan sehingga anak bisa menyambungkan bacaan dan aktivitasnya. Misalnya Alhamdulillah diucapkan sebagai wujud rasa syukur ketika selesai melakukan aktivitas tertentu. Subhanallah, dilafadzkan jika melihat ciptaan Allah dan sebagainya. Selain itu anak juga mulai dapat dikenalkan Allah melalui ciptaanNya. Anak-anak seusia ini sangat senang dengan binatang. Anak bisa kita ajak ke kebun binatang, mendengarkan suara-suara binatang, bernyanyi dan lain-lain. Tentang siapa Allah, ajarkan Surat Al-Ikhlas dengan artinya, dan juga lagu-lagu yang syairnya dapat mengenalkan anak pada Allah SWT. Serta mengajarkan pula tentang semua hal yang berkaitan tentang kebesaran Allah swt misal memberikan pengetahuan tentang siapa dan bagaimana proses penciptaan alam ini terjadi dengan begitu perlhan anak akan mengerti keesaan dan kebesaran Allah swt. Menanamkan Cinta Kepada Rasul Hadits riwayat ath-Thabrani menyatakan: “Didiklah anak-anakmu pada tiga perkara: mencintai nabi kamu, mencintai ahli baitnya dan membaca Al-Qur’an. Sebab orang-orang yang memelihara Al-Qur’an itu berada dalam lindungan singasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain dari pada perlindunganNya beserta para NabiNya dan orang-orang yang suci.” Seperti dalam hadits tersebut di atas, para sahabat dan ulama salaf sangat suka menceritakan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW terhadap anak-anak mereka, dengan diselingi materi pelajaran Al-Qur’an. Pemahaman terhadap sejarah kehidupan Nabi diyakini akan memberikan pengaruh kepada pendidikan dan perkembangan jiwa anak. Karena pemahaman yang baik terhadap kepribadian Nabi SAW, secara tidak disadari akan menumbuhkan rasa cinta anak terhadap pribadi beliau. Beliau akan dijadikan sebagai tokoh pujaan yang pada akhirnya anak akan berusaha meniru apa yang beliau telah lakukan selama hidupnya. Langkah semacam ini secara perlahan akan membentuk pribadi anak tidak lepas dari patokan agama, mampu memahai makna cinta yang sebenarnya terhadap beliau, serta memiliki semangat jihad yang tinggi dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari lingkungan yang penuh dengan kesesatan menuju lingkungan yang baik, dari dunia yang penuh dengan kebatilan menuju dunia yang penuh dengan kebenaran, dan dari lingkungan yang penuh kebodohan menuju cahaya Islam yang gemilang. Mengajarkan Al-Qur’an Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak berarti mengajak anak untuk dekat kepada pedoman hidupnya. Dengan cara itu, mudah-mudahan kelak ketika dewasa anak-anak benar-benar dapat menjalani hidup sesuai dengan Al-Qur’an. Inilah satu-satunya jalan untuk membentuk menjadi manusia yang shaleh. Mengajarkan Al-Qur’an pada anak usia tiga tahun dapat dilakukan dengan mulai mengenalkan, memperdengarkan, dan menghafalkan. Tak heran bila Rasulullah mengingatkan kita untuk mendidik anak dengan Al-Qur’an, sesuai firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 9: “Sesungguhnya Al-qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” Mendidik Untuk Rela Berkorban dan Teguh Pada Aqidah Aqidah yang tumbuh dan tertanam dalam jiwa anak merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai salah satu pijakan dan pedoman hidup dalam menata masa depan yang berarti dan secara tidak langsung berdampak positif bagi kelangsungan hidup masyarakat. Karena itu penanaman aqidah pada anak sejak dini merupakan sarana pendidikan yang efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Dan diakui bahwa aqidah yang tertanam dalam jiwa anak akan semakin kokoh apabila anak bersangkutan memiliki nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan dalam dirinya untuk membela aqidah yang diyakini kebenarannya, bahkan tidak peduli terhadap resiko yang mengancam dirinya. Semakin kuat nilai perjuangan dan pengorbanan seseorang akan semakin kokoh pula aqidah yang dimiliki. Memetik hikmah penuh berkah Orang tua sebagai pendidik anak akan sangat bahagia meyadari anaknya sudah mengerti, memahami dan mengamalkan setiap inci jiwanya untuk selalu menanamkan pada dirinya sikap mencintai Allah, Rasul, al-Qur’an, dan sebagainya. Jika jiwanya juga telah mempunyai keteguhan dan sikap rela berkorban demi kebaikan, maka kita pun akan memetik hikmah yang penuh berkah. Hikmah yang dapat dipetik pada moment Idul Adha oleh anak-anak didik kita sangat banyak. Pertama, menumbuhkan kebiasaan mementingkan ibadah. Berqurban merupakan sebuah amal ibadah yang mengedepankan Allah swt dari hal lain. Di rumah atau di sekolah kebiasaan kecil dalam mengedepankan beribadah dapat dilakukan dengan semisalnya mematikan televisi atau menghentikan kegiatan bermain saat adzan berkumandang. Kebiasaan ini tentu lebih mementingkan beribadah daripada melakukan kegiatan lainnya karena kita mengutamakan perintah Allah swt. Kedua, mengajarkan berbagi dan memberi lewat ”tangan” anak. Berbagai kegiatan infak atau sedekah (berbagi) perlu dikelola dengan melibatkan anak-anak. Jika mungkin dapat dibuat sebagai ”proyek” sosial. Momen-momen berbagi dapat diciptakan secara sengaja seperti kegiatan buka puasa, santunan anak yatim, dan bantuan untuk orang miskin. Musibah bencana alam juga seperti banjir dan gempa bumidapat dimanfaatkan untuk mendidikkan kepedulian pada sesama. Keterlibatan anak-anak secara aktif pada kegiatan-kegiatan tersebut akan mengajarkan mereka untuk banyak bersyukur sekaligus mempertajam kepedulian sosial mereka dan menanamkan semangat untuk selalu berbagi. Ketiga, keteladanan. Tidak ada yang lebih baik dalam memberikan suatu pembelajaran kebaikan dari pada metode keteladanan (uswah). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perbuatan seseorang lebih ampuh (mengajarkan sesuatu) dari pada omongannya. Ibrahim as. telah sukses memberikan keteladan berkorban ini pada Ismail as. sehingga menumbuhkan semangat berkorban luar biasa pada diri putranya. Karenanya, dalam setiap apa yang kita ajarkan pada anak hendaknya para pendidik lebih dulu melakukannya sendiri, dan kemudian mengerjakannya lagi secara bersama-sama dengan para anak didik. Keempat, do’a tulus yang menyertai. Sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab, Ibrahim as. Selalu mengakhiri amal ikhtiarnya di dunia khususnya berkenaan dengan anak istrinya dengan do’a. Sebelum dan sesudah memiliki keturunan, beliau selalu memanjatkan rabbi habb li min al-shalihin (wahai Tuhanku, anugerahkan kepadaku keturunan yang shalih). Dan ketika beliau meninggalkan Ismail dan Hajar di Makkah yang tandus (wadin ghair dzi zar’), beliau memohon kepada Allah agar mereka dapat terpelihara, mendirikan shalat, dan selalu ada di hati setiap manusia. Semuanya secara gamblang diabadikan dalam al-Qur’an. Apa yang telah diteladankan Ibrahim as. adalah inspirasi yang sangat berharga bagi kesuksesan pendidikan anak-anak kita. Mari kita menapak tilas terhadapnya agar dapat melahirkan generasi masa depan yang sehat jasmani dan rohani, serta mampu mengemban beban estafet dakwah islamiyah, demi meraih izzat al-islam dan kaum muslimin. (jh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar